Berapa
jumlah air yang dibutuhkan untuk menyajikan secangkir kopi? Beberapa
dari Anda mungkin akan dengan mudah menjawab, "Pastinya satu cangkir."
Tapi, berdasarkan Water Footprint , rata-rata jumlah air yang dibutuhkan
untuk menyajikan secangkir kopi adalah 140 liter.
Bagaimana
bisa? Water Footprint tak hanya menghitung air yang digunakan untuk
menyeduh kopi, tetapi juga total air yang dibutuhkan untuk menanam dan
memelihara kopi, memanen dan memrosesnya hingga menjadi biji kopi yang
siap digiling, mendistribusikan, hingga akhirnya menyajikannya di meja.
Jumlah
tersebut cukup mengagetkan, namun bisa menjadi cerminan bahwa pemakaian
air dalam bidang pertanian, industri dan konsumsi masyarakat tak
terkirakan. Contoh lain, menyajikan secangkir teh memerlukan 35 liter
air dan menyajikan 1 kg nasi memerlukan 3.000 liter air.
Untuk melihat dan mengontrol konsumsi air, pada tanggal 28 Februari 2011 lalu telah dirilis update dari
Global Water Footprint Standard. Standar tersebut dikembangkan oleh
Water Footprint Network dengan 139 partner, ilmuwan dari Universitas
Twente, Belanda, serta kalangan LSM, perusahaan dan pembuat kebijakan.
Global
Water Footprint Standard memberikan konsistensi dalam mengukur jumlah
air yang digunakan dan dampaknya. Pimpinan Water Footprint Network Jim
Leape mengatakan, standar tersebut dibuat saat perusahaan di semua
sektor menyadari adanya ancaman kekurangan air yang bisa berdampak pada
bisnisnya.
Menurut
National Coordinator Freshwater Program WWF Indonesia Tri Agung
Rooswiadji, standard tersebut dirancang untuk mengurangi pemborosan
dalam konsumsi air. "Jumlah air bersih sudah sangat terbatas. Kalau kita
boros, itu akan mengurangi kebutuhan pihak lain juga," ungkapnya.
Menurutnya,
pemborosan konsumsi air kini banyak terjadi di kalangan industri
komersial. "Industri ini tidak hanya industri manufaktur, tetapi juga
yang lain seperti pertanian dan tekstil. Kalau misalnya membuang limbah
cair langsung, itu juga mengurangi jumlah air bersih," katanya.
Setiap komoditas industri menurutnya memiliki kebutuhan air yang berbeda. "Yang terbesar itu misalnya pada kopi, palm oil, dan
kakao," kata Tri. Sektor lain, misalnya pada bahan makanan pokok,
membutuhkan 3000 liter air untuk memproduksi 1 kg beras dan 900 liter
air untuk 1 kg tepung jagung.
Efisiensi
dalam pemakaian air ini penting untuk dilakukan, terutama oleh kalangan
industri. Ketidakefisienan dalam pemakaian air yang mengakibatkan
kekuarangan air bisa memicu konflik. "Itu pernah terjadi tahun 2001-2002
di Lombok. Petani konflik karena kekurangan air," ujarnya.
Tri
mengungkapkan, industri bisa mulai menerapkan Water Footprint Standard.
Dalam Water Footprint Standard, terdapat fasilitas penghitungan jumlah
air yang digunakan berupa Water Footprint Calculator sehingga bisa
membantu program efisiensi air.
Di
sisi lain, ia juga menekankan perlunya kebijakan pemerintah. "Selama
ini belum ada kebijakan mengenai efisiensi air," katanya. Kebijakan ini
diharapkan bisa memacu industri untuk menerapkan standar tersebut.
Dengan
Global Water Footprint Standard, industri bisa melihat memantau
penggunaan airnya, terutama menelaah sektor-sektor yang boros air.
Dengan demikian, dimungkinkan langkah efisiensi penggunaan air untuk
mendukung kelestarian sumber daya air.
Bagi
individu, Global Water Footprint Stabndard bisa menjadi acuan untuk
mengukur jumlah air yang digunakan dalam makanan, mencuci pakaian dan
barang-barang yang dibeli. Individu bisa beralih ke produk yang
membutuhkan sedikit air dan yang proses produksinya memperhatikan
kelestarian air.
Efisiensi
penggunaan air merupakan salah satu cara untuk melestarikan sumber daya
air, selain dengan mencegah pencemaran pada sumber air. Saat ini,
kualitas air bersih secara global menunjukkan tren penurunan sehingga
membutuhkan langkah radikal untuk melestarikannya.
sumber