Di tengah-tengah apatisme masyarakat, nama Indonesia dan Sumatra justru berkibar di negeri ujung dunia. Grup cadas asal St. Petersburg dan Moskow menjadikan keduanya sebagai nama band dimana personilnya suka minum jus dan makan salad.
Lagu Against My Father itu benar-benar diciptakan untuk sebuah komposisi metal habis. Gebukan drum yang sangat dinamis dan lengkingan melodi mendominasi ruangan latihan di lantai 5 sebuah gedung tua, persis di pusat kota St. Petersbug, Rusia. Suasana semakin bertambah metal setelah sang vokalis utama, Daniel berteriak dengan suaranya yang tinggi. Kedua tangannya memegang erat mick di depan dada. Rambut pirangnya diputar-putar sambil membungkukkan tubuhnya yang ceking, seperti orang sedang kesurupan.
Dubes RI untuk Rusia yang baru, Djauhari Oratmangun yang hadir dalam latihan di penghujung musim dingin 2012 itu, seolah ikut larut ditelan irama. Mengenakan baju kulit lengan panjang warna hitam, tubuhnya yang kekar tidak berhenti bergerak. Sesekali ia mengambil gambar dengan BB-nya untuk kemudian dikirim ke handai tolan.
Latihan berlanjut dengan melantunkan beberapa lagu andalan mereka, seperti Pretty Colours dan Purest Mud yang iramanya hampir-hampir memecahkan gendang telinga. “Kita lagi persiapan untuk tampil tunggal di sebuah klub musik tanggal 29 Maret 2012 mendatang,” ujar pemain gitar/melodi yang juga seorang insinyur bangunan, Demian.
Sejak terbentuk tahun 2007, group heavy metal bernama Indonesia itu sudah malang melintang mengikuti berbagai konser musik rock di berbagai tempat di Rusia. Pada tanggal 8 Juni 2011 misalnya, Indonesia tampil sebagai band pembuka saat grup band asal AS All That Remains melakukan tur di Saint Petersburg.
Mengenai nama Indonesia, Santa menuturkan, awal membentuk grup band mereka bingung mau diberi nama apa. Namun ketika sedang hangat berdiskusi, seorang anggota band melihat bahwa gitar mereka made in Indonesia. “Ini dia nama yang cocok untuk grup band kita, Indonesia!” katanya mengingat kejadian 5 tahun lalu.
Selain urusan merek gitar, mereka juga berpandangan bahwa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan budaya adalah refleksi dari musik yang memiliki jutaan warna dan rasa. Akhirnya, secara aklamasi dideklarasi nama Indonesia dipakai sebagai nama band. “Nama Indonesia eksotik, negaranya juga eksotik seperti halnya musik,” ujar Demian.
“Meskipun saya belum pernah ke Indonesia, tapi pengetahuan kami mengenai Indonesia juga kami dapatkan dari orang tua kami yang pernah berkunjung ke Indonesia 20 tahun yang lalu” ujat Santa menyela. Saat ini mereka juga tengah mempersiapkan sebuah album yang akan dirilis di pasar Rusia. Album sebelumnya hanya ditautkan di Youtube.
Santa juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Dubes RI akan menuntut hak cipta karena menggunakan nama Indonesia. Ternyata, alih-alih Dubes Djauhari Oratmangun akan membawa mereka ke meja hijau tetapi malah memberikan dukungan “Selama kalian mempergunakan nama Indonesia untuk hal-hal yang baik, tidak ada masalah,” katanya.
Menurut Dubes mantan Dirjen Kerjasama ASEAN ini, hubungan RI-Rusia sejak lama terjalin dengan baik, tidak hanya antar pemerintah namun juga antara masyarakat kedua negara. Band Indonesia ini diharapkan juga akan menjadi salah satu penghubung antara generasi muda Rusia dan Indonesia.
Sementara itu, peristiwa bencana alam tsunami bulan Desember 2004 yang melanda Pulau Sumatera, menyisakan rasa simpatik yang mendalam bagi sekelompok pemuda Rusia. Enam orang pemuda Rusia di Moskow mengabadikan nama “Sumatra” menjadi nama sebuah kelompok musik beraliran extreme metal.
Alik Galstyan, anggota Sumatra yang saat itu duduk di bangku sekolah kelas 11 (kelas 2 SMA) mengetahui pemberitaan bencara tsunami dari siaran televisi selama berhati-hari. Hatinya gundah lalu mencari tahu melalui internet apa dan dimana “Sumatra” berada. Nah, saat Alik dan teman-teman kelompok musiknya tengah mencari sebuah nama untuk grup musiknya, serta merta ia mengusulkan nama “Sumatra”. “Kata tersebut indah didengar, tidak sulit diucapkan dan mudah diingat,” katanya.
Usulan Alik tidak serta merta diterima oleh rekan-rekannya yang juga mengusulkan nama-nama lain. Perdebatan terjadi. Namun Alik bersikeras dengan usulannya dan mengatakan kepada teman-temannya jika tidak menerima usulannya maka mereka dipersilahkan membentuk kelompok musik lain, sementara dirinya tetap dengan nama “Sumatra” dan akan mencari personil pengganti. Akhirnya teman-teman Alik mengalah. Mulai 21 September 2005 nama Sumatra mulai dikibarkan sebagai band extreme metal.
Pendirian kelompok musik cadas bukan semata untuk bisnis, tetapi untuk kepuasan dan kegemaran terhadap musik saja. Dalam perjalanannya, kelompok musik tersebut mengalami berbagai hambatan, antara lain berganti-gantinya personil, namun kemudian mendapat pengganti yang lebih baik.
Meskipun aliran musik extreme metal belum mendapat tempat ramai di publik Rusia, Alik dan grup musiknya tidak berkecil hati. Pengenalan ke publik dilakukan melalui berbagai konser di berbagai kota di Rusia. Menurutnya, nama kelompok musik Sumatra ini sudah dikenal melalui jaringan internet, seperti di Amerika Serikat, Jerman, Prancis dan Kanada.
Sumatra yang berbasis di Moskow sejauh ini memang masih belum kaya. Latihan hanya dilakukan pada saat-saat tertentu seperti menjelang tampil atau rekaman. Itu karena tidak semuanya tinggal di Moskow, seperti Dmitry Burdin yang bermukim di Minsk. Walaupun begitu, mereka sudah menelorkan beberapa album, seperti “The Sixth Circle” (2008), “Heliocratic Infinity” (2009).
Penggunaan nama Indonesia atau Sumatra, kata Dubes Djauhari, justru merupakan salah satu bentuk promosi Indonesia di Rusia karena selain bermain musik, seluruh anggota band tersebut adalah sarjana dengan pekerjaan cukup baik. Santa misalnya, merupakan seorang insinyur sementara Demian dan Daniel merupakan guru di sekolah musik. Diharapkan mereka juga bisa menyebarluaskan informasi mengenai Indonesia tidak hanya dikalangan pencinta musik rock tetapi juga teman-teman kerja dan murid-murid mereka. “Ini adalah bagian dari diplomasi industri kreatif,” katanya.
Uniknya, semua personil band metal dari St. Petersburg dan Moskow tersebut hidupnya jauh dari urusan nikotin, minuman keras atau narkoba. Saat ditraktir Dubes di sebuah restoran tengah kota St. Petersburg, awak Indonesia lebih suka makan salad dan jus jeruk. Sementara, di Moskow Alik berkilah, “Merokok dapat merusak badan dan lingkungan.”